Pelaut Muslim Bukan Bajak Laut Biasa
Laut menjadi suatu misteri. Pada abad ke-16 M, tidak ada satupun manusia yang menghendaki kehidupan di lautan. Hal ini dibuktikan oleh catatan Pendeta Frere Pierre d’An dari Bachelier en Théologie de la Faculté de Paris yang menuliskan tentang bahaya di lautan akibat aksi bajak laut pada 1637 M.
“Terlalu banyak bahaya di laut. Sangat ceroboh untuk pergi ke lautan dan memamerkan diri maupun barang yang kita punya. Bahkan, ada sebagian orang yang memilih miskin di pantai daripada kaya di laut.”
Catatan lain dari Pendeta Frere Pierre yang dikutip buku Wolf of Mediterrania di antaranya, “Tidak bisa dibantah, laut adalah teater dalam badai. Laut mampu mewujudkan petualangan yang tragis dan segala macam kekerasan. Mereka meninggalkan laut sementara waktu untuk kemudian kembali lagi. Mereka mencari perang dengan kapal, sampai bisa menjadi tuan bagi tubuh dan kekayaan orang lain.”
Kengerian yang dilukiskan Pendeta Frere Pierre dinisbatkan kepada kawanan bajak laut Barbarian yang menghuni pesisir Afrika Utara dari Maroko sampai Libya. Mereka menjadi hantu yang paling ditakuti armada kapal dagang Eropa. Kata “barbarian” sendiri berasal dari suku Berber (al-Barbar) yang mendiami Afrika Utara.
Adalah Hizir Hayreddin, panglima angkatan laut Turki Usmani yang mengubah kota-kota kaum pengelana gurun Sahara itu menjadi pangkalan bagi armada bajak laut guna meneror setiap kapal Eropa. Lalu, melekatlah julukan Barbarian kepada kelompok lanun Muslim itu.
Aksi bajak laut Muslim merebak setelah jatuhnya Granada, benteng Muslim terakhir Muslim di Spanyol, ke tangan pasukan Kristen tahun 1492 M. Bajak laut juga menjadi jawaban kaum Muslim terhadap Knight Hospitaller, ordo ksatria dari zaman Perang Salib di Yerusalem, yang sering mengganggu kapal-kapal Muslim di Laut Tengah. Knight Hospitaller melancarkan serangan dari pulau-pulau di Laut Tengah, seperti Rhodes dan Malta.
Bajak laut Muslim unggul dalam hal fanatisme dan strategi perang laut. Fanatisme pertama kali tumbuh dari kesengsaraan yang dialami kaum Muslim yang ditindas dan terusir dari Spanyol ke Afrika Utara. Kondisi ekonomi Afrika Utara yang melemah pascajatuhnya Dinasti Islam di Spanyol ditambah membludaknya pengungsi Spanyol menjadi kombinasi maut munculnya aksi perompakan sebagai salah satu wujud balas dendam kepada Eropa.
Di laut, fanatisme dipupuk lewat kepemimpinan tegas dari para komandan bajak laut. Hayreddin Barbarossa pernah menjatuhkan hukuman penjara kepada anak buahnya yang gagal menaklukkan sebuah kapal Spanyol. Semua itu masih dibumbui fanatisme agama dan tentu saja keserakahan akan harta jarahan yang menemukan momentumnya dalam masa konfrontasi panjang Turki Usmani dengan Eropa.
Sementara itu, kapal layar galley yang mengandalkan dayung sebagai sumber tenaga utama membuat serangan bajak laut Muslim tidak tergantung pada cuaca. Kedatangan para serigala laut ini menyebarkan teror bagi kerajaan dan masyarakat di pesisir Mediterania. Lewatlah sudah hari yang tenang, harihari perdagangan yang damai dengan Venesia, Genoa, Spanyol, dan Prancis. Rasa aman pergi. Mereka takut serangan bajak laut di tengah malam dan risiko tertangkap hidup-hidup sebagai budak.
Bagi para pelaut yang ingin berdagang ke luar negeri, zaman ini menjadi teror. Mereka yang ingin berlayar ke Laut Tengah harus membuat surat wasiat dan jaminan untuk antisipasi kemungkinan buruk. Beruntung kalau mereka bisa membayar para bajak laut agar tidak dirompak dan diperkenankan lewat tanpa gangguan.
Sampai sekarang, tidak bisa dimengerti bagaimana kekuatan itu bisa bangkit di dada orang-orang yang terbilang baru dalam hal pelayaran. Sejak peradaban Islam mulai berbenturan dengan peradaban lain seperti Persia dan Bizantium (Romawi Timur), keunggulan militer pasukan Islam adalah pertempuran darat. Baru pada abad ke-16 inilah laut menjadi benar-benar milik mereka.
Bukan bajak laut biasa
Para bajak laut Muslim berbeda dengan kaum lanun pada umumnya. Perompak biasanya hidup terpisah dari masyarakat dan menjadi kelompok yang dikejar-kejar aparat hukum. Mereka juga dikucilkan karena kekejamannya. Pemimpin bajak laut biasanya tidak jelas asal usul dan kehidupannya. Dia tidak dikendalikan kekuasaan apa pun. Kedisiplinan bersifat personal dan semua hal ditegakkan olehnya.
Di bawahnya adalah orang-orang terkasar dan terburuk yang merupakan budak dari nafsunya sendiri. Mereka rawan melakukan pemberontakan dan penuh kecurigaan. Hal ini mengin dika sikan bahwa pemimpin bajak laut harus percaya pada kekuatan sendiri.
Hal ini berbeda dengan bajak laut Muslim. Mereka bukanlah orang-orang terkucil karena tetap hidup dihormati di masyarakat, bahkan sampai akhirnya bisa meniti karier resmi di angkatan laut. Kota-kota pelabuhan di Afrika Utara adalah rumah mereka yang bahkan menampung bajak laut Eropa yang melarikan diri dari kejaran raja Kristen.
Mungkin lebih tepatnya, mereka adalah tentara swasta yang tidak dibayar, tapi mencari bayaran sendiri dari hasil pertempuran (privateer). Jarahan di laut. Dengan kualitas yang semakin baik, para bajak laut ini kemudian menjadi pahlawan. Sebagian menjadi negarawan. Setiap pemimpin bajak laut akhirnya menjadi admiralissimo, komandan angkatan laut Turki.
Perbedaan lain adalah tidak adanya simbol pribadi. Kaum lanun biasanya memiliki emblem khas yang melambangkan kekuatan diri kelompoknya. Bajak laut Muslim tidak memilikinya. Mereka menggunakan simbol bulan sabit yang merupakan lambang kekaisaran Ottoman. Mereka juga tidak menye rang kecuali sasaran yang diperintahkan. Kehidup an gerombolan bajak laut paling sukses yang menguasai Laut Tengah dari abad ke-16 sampai abad 19 ini tidak akan pernah kekurangan penulis dan tinta untuk menceritakan kisah mereka. Legenda abadi.
Disadur dari Harian Republika edisi 8 Februari 2012