Kisah Robin Hood Melayu di Selat Malaka
Bajak laut Indonesia ternyata sempat dianggap bak Robin Hood, tokoh pahlawan bagi kaum miskin dalam cerita rakyat Inggris. Setelah berhasil merampok, mereka membagikan hasil rampasan itu pada rakyat miskin.
Tak ayal, aksi mereka di Selat Malaka itu membuat pusing pemerintah setempat. Menurut laporan satu lembaga pengawas internasional, bajak laut Indonesia membagi hasil rampasan itu pada masyarakat tepi pantai dan penduduk desa yang miskin.
"Mereka adalah Robin Hood di era modern," ujar pihak Pusat Pelaporan Bajak Laut pada 2001 lalu.. "Ini merupakan cara bajak laut untuk melindungi diri sendiri," tambahnya.
Tak pelak, lanjut mereka, pemerintah setempat khawatir bila para perompak itu ditangkap akan memicu aksi protes para penduduk desa. "Ini merupakan tugas yang amat berat bagi pemerintah setempat untuk menumpas aksi bajak laut itu," ujar lembaga itu.
Lanun alias bajak laut memang sempat marak di Selat Malaka pada 1980-an sampai awal 2000-an. Kehadiran kawanan bajak laut di Selat Malaka menjelang akhir abad lalu, tidak lagi bersenjatakan parang dan tombak atau mengibarkan bendera hitam dengan lambang tengkorak ala Kapten Cook yang menjadi ciri ''keperkasaan dan keganasan'' di laut lepas. Tapi, mereka sudah berubah menjadi kelompok kejahatan berskala internasional dengan sasaran jutaan dolar AS.
Jika di Abad ke-15 kapal-kapal Spanyol yang sarat dengan muatan timah dilukiskan sebagai korban keganasan lanun terbesar ketika berlayar di Selat Melaka, maka dalam pekan-pekan terakhir abad ke-20 dilaporkan bentuk kejahatan yang spektakuler terjadi: pembajakan sebuah kapal tangki gas alam cair senilai 1,5 juta dolar AS dengan menyandera awak kapal tanpa berhasil dilacak pihak keamanan.
Sepanjang tahun 1995, Biro Maritim Internasional (IMB) menerima lima laporan tentang aksi bajak laut yang terjadi di perairan laut Malaysia, Indonesia dan Thailand. Tahun 1996 hingga 22 Nopember, IMB telah menerima laporan serupa sebanyak delapan kasus yang seluruhnya belum berhasil terungkap.IMB juga menerima laporan tentang nasib kapal tangki ''Sari Marina'' yang sedang mengadakan pelayaran di sekitar pelabuhan Plaju 27 April 1996. Kapal itu dikuras sepuluh kawanan bajak laut sebelum meninggalkan kapal nahas itu tanpa jejak.
IMB mengemukakan keyakinannya, bahwa kawanan bajak laut tersebut terdiri dari orang-orang yang tidak hanya ''berani'' tapi juga pintar dalam pengendalian telekomunikasi satelit, komputer perbankan internasional, berpengalaman luas tentang dunia kelautan dan memahami seluk-beluk undang-undang mengenai pendaftaran kapal. Kelompok yang mengarah kepada organisasi mafia internasional ini secara sistematis mengubah nama kapal dan surat-surat pendaftaran yang seluruhnya disiapkan terlebih dahulu guna mengelabui aparat keamanan maritim untuk mengadakan identifikasi kapal.
Kawanan lanun tersebut tampaknya juga tidak segan-segan melempar awak kapal ke laut, seperti laporan nelayan Terengganu 30 September 1996 yang menemukan dua orang awak kapal sedang terapung. Dua pekan sebelumnya penduduk setempat sempat dikejutkan dengan peristiwa pembajakan kapal kargo yang sedang memasuki perairan Laut Cina Selatan, atau hampir sama dengan posisi pembajakan kapal tangki ''Suci'' tanggal 20 November 1996 ketika sedang melintasi Pulau Natuna.
Selat Malaka merupakan jalur laut tersibuk ketiga di dunia. Sedikitnya 50 kapal laut setiap tahunnya melewati selat ini dan sebagian besar diantaranya mengangkut minyak mentah. Sejak akhir 2003 aksi kejahatan di selat ini terus menunjukkan peningkatan. Pada saat yang sama muncul kekhawatiran selat yang mencakup wilayah laut Indonesia, Malaysia, dan Singapura ini menjadi target serangan teroris.
Amerika Serikat (AS) kemudian menawarkan kehadiran militernya untuk mengamankan selat Malaka. Namun tawaran ini mendapat penolakan kuat Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini beralasan, hak pengamanan jalur laut itu berada di tangan Jakarta dan Kuala Lumpur selaku negara pantai. Indonesia, Malaysia, dan Singapura kemudian menggelar patroli laut bersama untuk meningkatkan pengamanan di selat itu sekaligus untuk mencegah campur tangan asing.
Kedua negara juga mengatakan kehadiran fisik AS di wilayah itu hanya akan memperburuk situasi dan meningkatkan sentimen anti-AS. Selain itu hukum internasional menyebutkan wilayah itu tidak mengenal kehadiran pihak asing. Bagi Indonesia, perhatian AS yang berlebihan itu lebih didasarkan pada kekhawatiran perekonomian mereka akan terganggu dibanding kemungkinan serangan teroris.
Tsunami kemudian diyakini menghentikan aksi pembajakan di Selat Malaka tersebut. H''Statistik dari Biro Maritim Internasional menunjukkan tidak adanya serangan bajak laut maupun perampokan bersenjata di selat Malaka sejak terjadinya tsunami pada 26 Desember 2005,'' ujar Presiden Institut Maritim Malaysia, Jaffar Lamri pada 2005. ''Menurut pendapat saya hal itu hanya bisa disebutkan sebagai dampak tsunami,'' lanjutnya.
Kepala Biro Maritim Internasional di Kuala Lumpur, Noel Choong, memberikan pendapat yang tak jauh beda. Choong mengatakan lembaganya mencatat serjadi 25 aksi bajak laut selama sembilan bulan pertama 2004. Namun sejak tsunami tidak satu pun laporan yang masuk. Choong mengatakan mereka pun tampaknya menjadi korban tsunami.
Belakangan, sejak 2020, aksi pembajakan di Selat Malaka kembali marak. Sepanjang tahun itu, erjadi 97 kali pembajakan kapal laut di Selat Malaka atau lebih dari 8 kali dalam sebulan.
Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP) Information Sharing Centre (ISC) mencatat, aksi kejahatan perampokan di perairan yang memisahkan tiga negara itu tahun lalu mencapai angka tertinggi dalam 5 tahun terakhir dengan 34 kasus.
Sebanyak 30 kasus terjadi di jalur timur, dekat Pulau Batam dan Bintan. ReCAAP and ISC mengungkapkan bahwa jumlah kasus pembajakan dan perampokan bersenjata di perairan Asia pada 2020 meningkat 17 persen dibandingkan dengan 2019. Jika pada 2019 jumlah kasus yang dilaporkan tercatat 83, pada 2020 jumlahnya naik menjadi 97 insiden.
Disadur dari Harian Republika