Home > Sejarah

Mengenal Orang Arab Sebagai Penjelajah Lautan

Bangsa Arab telah mengarungi lautan luas sejak ratusan tahun silam
Salah satu lautan di Arab Saudi. Foto: Saudi Press Agency
Salah satu lautan di Arab Saudi. Foto: Saudi Press Agency

OCEANIA.ID -- Orang-orang Arab telah dikenal sebagai penjelajah lautan luas sejak berabad-abad silam. Mereka tidak hanya menjelajah di sekitar Jazirah, tetapi juga Samudra Hindia, Nusantara, hingga Cina Selatan.

Dalam artikel “Arabian Seafarers in the Indian Ocean” (2007), Peter Boxhall menukil kesaksian Agatharchides, seorang ahli sejarah Yunani yang hidup pada abad kedua sebelum Masehi (SM) menjelaskan bahwa para pedagang Arab begitu dominan di pesisir Laut Eritrea.

Kawasan bahari yang mencakup Laut Merah, Teluk Aden, dan Teluk Persia itu memiliki banyak pelabuhan tempat transaksi berbagai komoditas bernilai tinggi, seperti rempah-rempah, sutra, perak, dan emas. Orang-orang Yunani membeli banyak barang yang dibawa para pelaut Arab itu. Eudaemon (Aden) dan Pulau Sokrota menjadi bandar utama tempat kapal-kapal dagang dari India dan Afrika timur berlabuh.

Bagaimanapun, tidak seluruh orang Arab mengakrabi lautan. Berbeda dengan orang Arab Selatan, penduduk Hijaz--termasuk masyarakat Quraisy di Makkah--cenderung terbiasa menggunakan jalur darat untuk berdagang. Tradisi mereka itu diabadikan Alquran dalam surat Quraisy,

Allah SWT berfirman:

لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ. اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ

Artinya: "Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak keuntungan)," (QS Quraisy [106]:2)

Dalam Tafsir Tahlili Kemenag dijelaskan, dalam surat Quraisy ayat 1 tersebut Allah menerangkan profesi suku Quraisy sebagai kaum pedagang di negara yang tandus dan mempunyai dua jurusan perdagangan. Pada musim dingin ke arah Yaman untuk membeli rempah-rempah yang datang dari Timur Jauh melalui Teluk Persia dan yang kedua ke arah Syam pada musim panas untuk membeli hasil pertanian yang akan dibawa pulang ke negeri mereka yang tandus lagi kering itu.

Orang-orang penghuni padang pasir (Badui) menghormati suku Quraisy karena mereka dipandang sebagai jiran (tetangga) Baitullah, penduduk tanah suci dan berkhidmat untuk memelihara Ka‘bah, dan penjaga-penjaga Ka‘bah. Oleh karena itu, suku Quraisy berada dalam aman dan sentosa, baik ketika mereka pergi maupun ketika mereka pulang walaupun banyak terjadi perampokan dalam perjalanan.

Para ahli tafsir, baik dari kalangan klasik maupun kontemporer, sepakat bahwa perjalanan dagang pada musim dingin yang dimaksud ayat itu dilakukan ke arah utara, yakni negeri-negeri semisal Syam, Anatolia (Turki), Yunani, dan sebagian Eropa timur. Memasuki musim panas, orang-orang Quraisy berniaga ke arah selatan Makkah, yakni Yaman dan Oman. Di sana, mereka berinteraksi dengan para pedagang dari beragam bangsa yang singgah di bandar Aden.

Boxhall mengatakan, umumnya bangsa Arab yang menghuni Lembah Hijaz memang kurang familiar dengan laut. Sebaliknya, hamparan padang pasir sudah menjadi "pemandangan sehari-hari." Orang-orang Makkah, misalnya, amat andal membangun rute dagang yang membelah gurun. Mereka-lah penghubung antara bandar niaga di pesisir Arab selatan dan Syam.

Adanya syiar Islam yang dirintis Nabi Muhammad SAW pun mengubah kebiasaan orang-orang Hijaz walaupun secara bertahap. Mereka tidak lagi "memunggungi" laut. Sebagai contoh, kira-kira tiga tahun sesudah kenabiannya, Rasulullah SAW mengizinkan sebagian kaum Muslimin untuk berhijrah ke Habasyah (Etiopia). Untuk sampai ke negeri di Benua Afrika itu, para muhajirin tidak hanya menempuh perjalanan darat, melainkan juga menyeberangi Laut Merah.

Bertahun-tahun kemudian, terutama sejak hijrahnya Nabi SAW dan Muslimin ke Madinah, kekuatan Islam semakin solid. Puncaknya, beliau berhasil memimpin pembebasan Makkah (Fath Makkah). Kemudian, Rasulullah SAW juga mengirimkan surat kepada banyak kepala negeri di luar Hijaz, termasuk daerah-daerah pesisir Jazirah Arab, semisal Yaman, Oman, dan Bahrain. Masyarakat setempat lalu berbondong-bondong memeluk Islam. Mereka itulah yang kelak menjadi pendukung utama angkatan laut Muslim pertama dalam sejarah.

Satu daerah pesisir yang cukup menarik ditelisik ialah Bahrain. Negeri ini sejak abad keenam hingga ketiga sebelum Masehi (SM) merupakan bagian dari Imperium Persia. Daerah penghasil mutiara itu menjadi salah satu penyumbang devisa bagi kerajaan majusi tersebut.

Antara abad ketiga dan keempat Masehi, banyak penduduk Bahrain yang telah mengadopsi agama Kristen. Kemudian, syiar Islam memasuki wilayah itu sejak abad ketujuh. Nabi Muhammad SAW memerintah Bahrain melalui wakilnya, Al-Ala’a Al-Hadhrami. Semasa era Khulafaur rasyidin, perwalian itu diteruskan. Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, Abu Hurairah merupakan gubernur Bahrain. Pada 692 M, dibangunlah masjid pertama di Bahrain, yaitu Masjid al-Khamis pada masa pemerintahan al-Faruq.

× Image