Home > Sejarah

Jenis-Jenis Perahu Nusantara Penjelajah Samudera

Jenis perahu Nusantara adalah warisan panjang tradisi maritim.

Bahwa “Nenek moyangku orang pelaut” bukan isapan jempol belaka. Tradisi kemaritiman Nusantara sudah merentang beribu tahun lalu. Berikut di antara jenis perahu Nusantara dan kapal-kapal yang digunakan nenek moyang bangsa Indonesia mengarungi samudera.

Kapal Jung

Kepiawaian orang Jawa di bidang perkapalan itu dibuktikan dengan ditemukan pada relief Candi Borobudur. Dan belakangan, perahu bercadik yang divisualkan di relief candi terbesar itu disebut sebagai ‘Kapal Borobudur’. Konstruksi kapal jung bercadik ini sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian, disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi.

Jadi, seluruh badan kapal ini dibangun tanpa menggunakan paku. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Gambaran tentang jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511.

Ilustrasi Junk Jawa dari tahun 1900. (Wikimedia Commons)
Ilustrasi Junk Jawa dari tahun 1900. (Wikimedia Commons)

Orang Portugis mengenal Jawa sebagai tempat asal usul jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Demak untuk menyerang armada Portugis. Kapal jung memiliki empat tiang layar. Terbuat dari papan berlapis empat dan mampu menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton. Jung terbesar pernah dimiliki kerajaan Demak dengan bobot mencapai seribu ton. Kapal ini digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513.

Kora-Kora

Perahu kora-kora atau cora-cora, biasanya juga disebut belang, merupakan perahu tradisional dari Kepulauan Maluku. Bentuknya seperti sampan dengan panjang kira-kira 10 meter dan sangat sempit mirip dengan perahu Naga Cina. Kora-kora digunakan sebagai perahu dagang. Sementara kora-kora yang ukurannya lebih besar, dipakai sebagai kapal perang.

Dahulu perahu ini digunakan sebagai armada perang rakyat Banda melawan Belanda pada abad ke-17. Di bagian dalam belang, dipancangkan bendera-bendera adat dari kampung, tempat belang tersebut berasal.

Pengunjung melihat miniatur kapal adat Kora-kora yang dipajang dalam Pameran Segara Gunung di Gedung DPRD Malang, Jawa Timur, Rabu (11/5/2022). (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
Pengunjung melihat miniatur kapal adat Kora-kora yang dipajang dalam Pameran Segara Gunung di Gedung DPRD Malang, Jawa Timur, Rabu (11/5/2022). (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)

Bendera-bendera tersebut juga dipasang di depan dan bagian belakang kora-kora. Jumlah pendayung kora-kora, ada 30 hingga 40 orang, ditambah dengan seorang juru mudi dan seorang natu (navigator). Di bawah masing-masing bendera yang terpancang berdiri satu orang, yaitu ketua adat dan kapitan.

Perahu Pinisi

Perahu pinisi adalah perahu yang berasal dari daerah Bugis, Sulawesi Selatan. Jenis perahu ini sudah terkenal hingga ke mancanegara dan pernah menjelajah samudera luas hingga ke lima benua. Pembuatan perahu phinisi hingga saat ini terkonsentrasi di desa Ara, Tanah Beru, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Pembuatannya dilakukan dalam galangan kapal seadanya, tanpa gedung, dan hanya beratapkan daun rumbia. Yang penting, lokasi pembuatannya di pinggir pantai. Masyarakat Tanah Beru dikenal dengan sebutan butta panrita lopi atau ahli pembuat perahu. Keahlian itu diwariskan secara turun-temurun pada anak-anak warga Tanah Beru.

Sejumlah orang mempersiapkan Ekspedisi Pinisi Bagi Negeri di Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan. (Antara Foto)
Sejumlah orang mempersiapkan Ekspedisi Pinisi Bagi Negeri di Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan. (Antara Foto)

Pembuatan perahu phinisi memadukan keterampilan teknis dengan kekuatan magis. Teknik pembuatannya pun tergolong unik. Umumnya, kapal atau perahu dibuat rangkanya terlebih dahulu sebelum diberi dinding, namun sebaliknya, perahu pinisi, yang dibuat terlebih dahulu adalah dindingnya kemudian kerangkanya.

Perahu ini juga bukan menggunakan paku melainkan pasak kayu. Untuk menutupi celah-celah dinding kayu, mereka menutupinya dengan kulit kayu. Menjelang akhir pembuatan, perahu digeser ke batas laut dangkal. Ini dimaksudkan agar perahu tidak terjebak di daratan dan sulit untuk diluncurkan.

Perahu pinisi dibuat dari kayu bitti sejenis kayu endemis di daerah itu, yang tumbuh di atas batu karang sehingga menghasilkan kayu yang keras dan rapat. Kayu bitti ada dua macam. Bitti betina (berumah dua) dan bitti jantan. Bitti betina menghasilkan papan lurus dan lebar.

Pekerja menyelesaikan pembuatan kapal pinisi di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Kamis (7/1/2021). (Abhiwara Abe/Antara Foto)
Pekerja menyelesaikan pembuatan kapal pinisi di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Kamis (7/1/2021). (Abhiwara Abe/Antara Foto)

Bitti jantan lebih bagus digunakan untuk membuat lunas perahu karena bentuknya membengkok sehingga perajin tidak perlu membengkokkan kayu. Teknologi pembuatan perahu yang dipercaya sudah ada sejak 700 tahun lalu ini, dilengkapi bagian-bagian, antara lain anjong, segitiga di depan sebagai penyeimbang, sombala alias layar utama, berukuran besar mencapai 200 meter, tanpasere atau layar kecil berbentuk segitiga dan ada di setiap tiang utama, cocoro pantara atau layar pembantu letaknya di bagian depan, cocoro tangnga alias layar pembantu ada di tengah, dan tarengke, yakni layar pembantu di belakang.

Kole-Kole

Selain dikenal sebagai pengukir kayu ulung, Suku Asmat yang tinggal di pesisir pantai Papua, juga terkenal akan keahliannya di atas air. Mereka memiliki perahu tradisional yang disebut kole-kole. Untuk menjalankan perahu ini, mereka harus mendayung dengan cara yang unik, yakni harus berdiri.

Dayung yang digunakan ukurannya lebih panjang dan bentuknya menyerupai galah. Mendayung dengan posisi berdiri pun dilakukan saat berada di lautan yang terkenal ganas, yakni Laut Aru.

Perlombaan Kole-Kole. (Dok Kemenparekraf)
Perlombaan Kole-Kole. (Dok Kemenparekraf)

Perahu kole-kole terbuat dari sebatang pohon besar yang dikerok bagian tengahnya sehingga terbentuklah cekungan yang berongga. Dalam rongga inilah orang-orang duduk dengan cara berderet memanjang ke belakang. Di Asmat, saat digelar upacara-upacara adat, keahlian suku Asmat mengendalikan perahu mereka dengan gaya dan teriakan khas mereka bisa ditemukan.

Perahu Sandeq

Sandeq adalah perahu layar tradisional khas Mandar, Sulawesi Selatan. Sekilas, sandeq terkesan rapuh karena bentuknya yang kecil. Namun, dengan panjang lambung tujuh hingga 11 meter dan lebar 60 hingga 80 sentimeter, sandeq memiliki kelincahan mengarungi samudera.

Di kiri kanannya, dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang. Sandeq mengandalkan dorongan angin yang ditangkap layar berbentuk segitiga. Layar tersebut mampu mendorong sandeq hingga kecepatan 20 knot.

Perahu yang umumnya dicat berwarna putih ini umumnya dipakai masyarakat Mandar mengejar ikan terbang. Saat ikan ini bermigrasi, nelayan-nelayan dengan sandeq-nya memasang perangkap telur yang terbuat dari daun kelapa dan rumput laut.

Peserta lomba perahu sandeq mini beradu cepat di pantai anjungan Manakarra, Mamuju, Sulawesi Barat. (Antara Foto)
Peserta lomba perahu sandeq mini beradu cepat di pantai anjungan Manakarra, Mamuju, Sulawesi Barat. (Antara Foto)

Menurut Horst Liebner, peneliti sandeq asal Jerman, sandeq adalah perahu tradisional terkuat dan tercepat di wilayah Austronesia. Perahu kecil ini terbukti piawai mengarungi laut lepas di selat Makassar dan Kalimantan yang terkenal dengan gelombangnya yang sering tak terduga.

Lancang Kuning

Perahu jenis lancang kuning adalah perahu tradisional dari rumpun Melayu. Di Indonesia, perahu jenis ini banyak dipakai masyarakat Riau. Pada zaman dahulu, perahu lancang kuning merupakan lambang kekuasaan kerajaan dan digunakan sebagai perahu resmi Kerajaan Siak, Sri Indrapura.

Dalam legenda dikisahkan, pemilik perahu lancang kuning adalah seorang putri dari kerajaan Melayu. Setiap perahu tersebut berlayar, akan selalu didampingi oleh pengawal dan pengayuh yang menggunakan pakaian serbakuning. Saat ini, perahu lancang kuning tinggal legenda. Namun, bentuknya diabadikan menjadi maskot pemerintah daerah provinsi Kepulauan Riau. Replika perahu ini masih bisa disaksikan di Museum Bahari Indonesia.

Replika kapal Lancang Kuning. (Republika/Adhitya)
Replika kapal Lancang Kuning. (Republika/Adhitya)

Kolek

Jenis perahu nelayan ini banyak dijumpai di Teluk Jakarta. Adapun di Jawa Tengah, disebut konting, kementing, di Jawa Timur disebut kolekan, dan di Madura disebut golekan. Perahu terbesar ini pernah dimiliki penduduk. Panjangnya 15 sampai 20 meter, lebar 2 hingga 2,5 meter, dan tinggi 1 hingga 1,5 meter. Perahu ini memiliki ciri khas, yakni ujung depan dan belakang melengkung tinggi dan membentuk setengah lingkaran yang terarah ke dalam.

Perahu ini digunakan untuk mengangkut ikan hasil nelayan ke tempat penjualan. Perahu ini terbuat dari kayu jati, depan dan belakang lancip melengkung ke arah dalam badan perahu. Dilengkapi dengan dua buah layar, besar dan kecil yang disebut layar tenda. Untuk menaikkan dan menurunkan layar, digunakan tali paridan. Tali bau, terikat pada layar dan tali singkur, berfungsi untuk mengatur arah layar. Badan perahu dihiasi lukisan motif batik. Kolek digunakan dua hingga sepuluh orang nelayan dalam satu kelompok kerja dan dapat dipergunakan untuk berbagai macam cara penangkapan ikan.

Perahu tradisional Golekan Lete berasal dari Madura dan berfungsi sebagai angkutan niaga dari Jawa-Madura-Kalimantan. (Republika/Adhitya)
Perahu tradisional Golekan Lete berasal dari Madura dan berfungsi sebagai angkutan niaga dari Jawa-Madura-Kalimantan. (Republika/Adhitya)

Golekan Lete

Perahu golekan berasal dari Madura. Perahu ini sejak dahulu digunakan untuk mengangkut antarpulau berbagai hasil bumi dan hingga kini masih digunakan sebagai perahu niaga jarak jauh.

Saat ini, perahu-perahu golekan masih banyak ditemui di pantai utara Pulau Jawa dan Madura, terutama di pelabuhan tradisional Kalimas, Surabaya. Komoditas yang diangkut terutama balok dan kayu dari Kalimantan menuju Jawa dan Madura. Saat kembali, perahu ke Kalimantan, perahu-perahu membawa hasil bumi seperti beras, garam, kacang kedelai, jagung, dan lain-lain.

× Image