Kekuatan Armada Laut Majapahit, Mitos atau Fakta?
Awam beredar dalam pemahaman di Indonesia bahwa Kerajaan Majapahit merupakan imperium perkasa di Nusantara. Mengingat kondisi kepulauan di wilayah itu, tentunya ia diyakini memiliki armada angkatan laut yang kuat. Kapal-kapalnya disebut menguasai perairan Nusantara. Benarkah demikian?
Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional dalam artikelnya "Majapahit dalam Lintas Pelayaran dan Perdagangan Nusantara" yang dilansir pada 2009 menilai pandangan tersebut ternyata tak didukung bukti-bukti arkeologis yang kuat.
Pemahaman yang hingga saat ini beredar adalah bahwa luas wilayah Kerajaan Majapahit nyaris seluas Republik Indonesia sekarang. Hal itu didasari Sumpah Palapa yang diucapkan Mahapatih Gajah Mada seperti yang dikutip dari Kitab Pararaton. Sumpah ini diucapkan di hadapan Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1372). Atas dasar sumber Pararaton dan penyebutan nama-nama tempat di Nusantara dalam Nagarakertagama itulah kisah soal wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit berlandaskan.
Bambang Budi Utomo menilai, anggapan itu perlu diluruskan.Menurutnya, "Sebagai 'konsekuensi' dari anggapan tersebut tentu timbul pertanyaan seberapa besar angkatan laut Majapahit kala itu? Sementara itu Majapahit baru selesai menumpas beberapa pemberontakan yang terjadi di Tanah Jawa (kawasan inti Majapahit), seperti pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Apakah mungkin Majapahit dapat menaklukan daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahannya?"
Bambang mengakui, beberapa sumber sejarah, baik dari Majapahit maupun daerah "taklukan" menyebutkan tentang penaklukan seperti itu. Naskah Raja Pura (Kidung Pasung Grigis), misalnya, menyebutkan tentang penaklukan Bali pada 1343 dan Prasasti Wadu Tunti menyebutkan tentang penaklukan Kerajaan Kapalu di Sumbawa pada sekitar 1343.
Namun di tempat-tempat lain yang daftar namanya tercantum dalam Nagarakertagama, sumber sejarah seperti itu nyaris tidak ada. Kalaupun ada, hanya bersifat oral yang diceritakan dari mulut ke mulut yang pada akhirnya banyak terjadi penyimpangan.
Menurutnya, semacam bukti arkeologis juga ditemukan di beberapa situs di luar Jawa. "Bukti" arkeologis itu antara lain berupa tembikar dalam bentuk kendi yang oleh para pakar disebut dengan istilah "kendi Majapahit" dengan ciri mempunyai payungan dan dibuat dari tanah liat halus yang berwarna merah.
Kendi semacam ini ditemukan di Situs Muara Jambi (Jambi), Ketapang (Kalimantan Barat) dan Bontobontoa (Sulawesi Selatan). Dengan bukti semacam ini beberapa pakar menduga bahwa daerah tersebut merupakan salah satu bagian dari wilayah Majapahit.
Bambang juga menyinggung, beberapa puluh tahun sebelum Mahapatih Gajah Mada bersumpah untuk menyatukan Nusantara di bawah Majapahit, Maharaja Kertanagara dari Kerajaan Singhasari juga berniat menyatukan Nusantara. Hal ini dianggap penting untuk menghadapi ancaman serangan Kubilai Khan dari Kerajaan Mongol.
Seperti halnya Kerajaan Singhasari yang berusaha mengantisipasi serangan dari Kubilai Khan setelah sebelumnya mendapat peringatan dengan dikirimnya utusan Mongol ke Singhasari pada tahun 1280 dan 1281. Sumber sejarah yang menyebutkan perluasan cakrawala mandala ke luar pulau Jawa oleh Sri Maharaja Kertanagara itu. menurut Bambang, cukup valid dan kuat. Ada sumber Prasasti Camundi yang ada di Jawa, Prasasti Dharmasraya yang ada di Sumatera, dan sumber naskah Pararaton dan Nagarakertagama. Sumber-sumber sejarah tersebut saling mendukung dan mengisi.
Dalam prasasti yang dipahatkan pada bagian belakang arca Camundi (1292 Masehi) dari Desa Ardimulyo yang dikeluarkan oleh Maharaja Kertanagara terkandung gagasan perluasan cakrawala mandala ke luar pulau Jawa yang meliputi daerah seluruh dwipantara. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa area Bhattari Camundi ditahbiskan pada waktu Sri Maharaja Kertanagara menang di seluruh wilayah dan menundukkan semua pulau-pulau yang lain. Namun, dalam usahanya menyatukan Nusantara, Sri Maharaja Kertanagara tidak selalu menggunakan kekuatan bersenjata.
Ketika melakukan Ekspedisi Pamalayu, misalnya, ia menghadiahkan area Amoghapasa kepada penguasa Malayu sebagai tanda persahabatan. "Dengan demikian, perlu diingat bahwa gagasan untuk menyatukan Nusantara sudah mulai tumbuh jauh sebelum Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa-nya."
Sementara berdasarkan bukti-bukti yang masih terbatas, menurut Bambang, jelas bahwa wilayah Majapahit tidak seluas apa yang diduga oleh banyak orang. "Berdasarkan sumber sejarah yang sampai kepada kita, wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit hanya meliputi sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Bali, sampai Sumbawa."
Di dalam wilayah ini, Bambang mencatat, terdapat 21 negara daerah yang masing-masing diperintah oleh Paduka Bhattara. Negara daerah itu antara lain Mataram, Pajang, Lasem, Kadiri, Lumajang, Madura, Bali, dan Gurun. Kitab Nagarakertagama menyebutkan sekurang-kurangnya 60 nama tempat di Nusantara mulai dari Sumatra hingga Maluku/Papua.
Juga nama-nama tempat yang terdapat di Semenanjung Tanah Melayu. Dalam struktur kewilayahan, tempat-tempat ini disebut desantara kacayya, yaitu tempat-tempat yang mendapat perlindungan dari Raja Majapahit. Tempat-tempat ini bukan merupakan daerah wilayah kekuasaan Majapahit.
"Persembahan upeti pada waktu-waktu tertentu kepada Raja Majapahit, tidak lain sebagai tanda terimakasih karena Raja telah melindungi, dan bukan sebagai tanda tunduk. Negara asing yang mempunyai hubungan dengan Majapahit, antara lain Ayudhyapura, Dharmanagari, Marutma, Rajapura, Singanagari, Campa, Kamboja, dan Yawana. Negara-negara yang ada di Asia Tenggara daratan ini menjalin hubungan politik dan perdagangan dengan Majapahit. Mereka disebut sebagai mitra satata (negara sahabat yang sama kedudukannya)."
Kapal megah?
Menurut Bambang, Hingga saat ini, data dan informasi mengenai teknologi perkapalan dari masa Majapahit (abad ke-14 hingga ke-15 Masehi) sangat kurang, bahkan dapat dikatakan nyaris tidak ada. Perkiraannya sejauh ini direkonstruksi berdasarkan logika perkembangan teknologi perkapalan dari masa sebelumnya.
Data arkeologi maritim yang diperoleh dari beberapa situs dengan tinggalannya berupa runtuhan perahu/kapal seperti di Muara Kumpeh (Jambi), Sambirejo dan Tulung Selapan (Sumatera Selatan), dan Punjulharjo (Rembang, Jawa Tengah), menginformasikan pada kita bahwa teknologi perkapalan yang dikembangkan pada masa abad ke-8-9 Masehi adalah "teknik papan-ikat dan kupingan pengikat".
Teknologi ini merupakan tradisi di wilayah Asia Tenggara. Mengenai bentuknya, secara garis besar dapat diketahui dari beberapa relief perahu dan kapal yang dipahatkan pada relief-cerita Lalitavistara di Candi Borobudur. Penggunaan kapal sebagai wahana untuk mengarungi samudra dan menyeberangi pulau-pulau di Nusantara sejak abad ke-8 Masehi, dan bahkan sejak sebelum tarikh Masehi, sudah dilakukan penghuni Nusantara ini.
Jika dari masa sebelum Majapahit sudah ada kemampuan mengarungi samudra, tidak mustahil pada masa Majapahit tentu juga demikian. Adanya pelabuhan-pelabuhan di wilayah Majapahit merupakan suatu petunjuk. Data sejarah yang ditemukan di Lasem, Jawa Tengah memberikan petunjuk yang masih awal tentang kepemilikan junk-junk perang oleh Majapahit.
Berdasarkan sumber Babad Lasem dan lokasi geografis Majapahit, dapat diperoleh gambaran bahwa Majapahit memang memerlukan junk-junk perang yang mungkin ukurannya lebih kecil tetapi mempunyai kelincahan yang tinggi. Junk-junk perang ini diperlukan untuk mengamankan perairan Majapahit di Laut Jawa dan pelabuhan-pelabuhannya di pantai utara Jawa seperti Lasem, Tuban (Kambangputih), Sidhayu, Gresik, Surabhaya, dan Canggu. Mengenai bentuk, apalagi teknologinya belum dapat diketahui dengan pasti karena hingga kini belum pernah ditemukan bukti runtuhannya.
Artinya, detail soal kekuatan armada laut Majapahit sejauh ini belum bisa dibuktikan secara saintifik.