Sayyida al-Hurra, Tokoh Muslimah yang Dijuluki Ratu Bajak Laut
Setelah menikah, Al-Mandari menunjuk Aisha sebagai Bupati Tetouan, yang saat bersamaan menunjuk kakaknya Moulay Ibrahim sebagai perdana menteri. Namun, Al-Mandari kemudian meninggal sekitar 1515 M dan Aisha akhirnya didaulat sebagai gubernur wilayah Tetouan.
Pada saat inilah Aisha resmi diberikan gelar Sayyida al-Hurra. Dia membangun kota Tetouan itu selama seperempat abad berikutnya atau lebih. Sejarawan Spanyol-German, Vazsquez Chamorro dalam studinya baru-baru ini mengungkapkan bahwa setelah dipimpin al-Hurra kota itu semakin makmur.
"Kota itu segera mencapai tingkat kemakmuran yang belum pernah terdengar," katanya.
Kota ini menjadi makmur karena al-Hurra kerap melancarkan serangan terhadap kapal-kapal Spanyol dan Portugis yang memuat barang-barang, emas, dan harta lainnya. Al-Hurra kala itu menjadi bajak laut dengan merompak kapal musuh-musuhnya, sehinga kota yang dipimpinya menjadi lebih sejahtera.
Seorang utusan Portugis, Sebastien de Vargas mencirikan al-Hurra sebagai perempuan yang sangat agresif dan pemarah tentang segala hal. Namun, al-Hurra saat itu benar-benar tergantung pada ujung meriam lawan yang dihadapi. Karena, pada abad ke-16, pembajakan kapal juga sedang merajalela, tidak hanya terbatas pada pantai selatan Mediterania.
Penulis buku Feminist Traditions in Andalusi-Moroccan Oral Narratives, Hasna Lebbady mengatakan, al-Hurra merupakan perempuan yang berada di antara pahlawan Andalusia-Maroko yang telah mengisi sejarah bangsa dan telah menjadi cerita rakyat.
Menurut dia, para bajak laut Inggris saat itu juga biasa mencegat kapal-kapal Spanyol yang kembali dari Amerika, dan barang rampasan yang mereka ambil menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah Ratu Elizabeth I.
Namun, pada masa al-Hurra, Maroko tidak memiliki angkatan laut, tapi hanya mengandalkan kapal bersenjata khas bajak laut. Kapal-kapal itu banyak menetap di beberapa daerah seperti Sale dan Tetouan. Di bawah komando Sayidda al-Hurra, mereka membantunya untuk melawan orang-orang Iberia yang secara agresif ingin menjajah Maroko.
“Jadi al-Hurra melakukan hal yang sama kepada orang-orang Iberia seperti yang kami lakukan kepada orang-orang Maroko. Saya tidak akan menyebut dia bajak laut. Menganggapnya sebagai bajak laut adalah menyalahkan orang-orang yang membela tanah mereka dari kekuatan kolonial yang agresif," kata Lebbady.
Ketika kekuatannya terus tumbuh, begitu juga reputasinya. Pada 1541 M, akhirnya al-Hurra dipersunting lagi oleh Raja Maroko, Ahmed al-Wattasi. Namun, dia enggan meninggalkan Tetouan meskipun sudah menjadi Ratu Maroko. Bahkan, dia bersikeras untuk tetap menjabat sebagai Gubernur Tetouan.
Kekuasaan tertinggi di Maroko tidak lantas membuat al-Hurra meninggalkan rakyat Tetouan. Kemauan keras al-Hurra tersebut akhirnya dituruti Raja. Sehingga, untuk pertama kalinya Maroko memiliki ratu yang tinggal jauh dari ibu kota. Bahkan, sang Raja harus rela menempuh perjalanan dari Fez ke Tetouan untuk menemui istrinya.
Kabar tentang pernikahan itu pun terdengar hingga ke Madrid dan pernikahan itu dianggap setara dengan pernikahan kekuasaan antara Ferdinand dari Aragon dan Isabella dari Kastilia.
Kekuasaan Sayyida al-Hurra tidak bertahan lama. Sayangnya, justru yang menurunkan ia dari takhtanya adalah keluarganya sendiri. Menantu prianya menggulingkan kekuasaannya pada 1542. Sayyida dilucuti harta dan jabatannya setelah itu.
Semenjak turun takhta, tidak satupun catatan yang menerangkan keberadaan Sayyida. Hingga kini, tidak diketahui di mana dan kapan ia meninggal. Namun, para sejarawan mengatakan bahwa dia adalah pemimpin Islam Islam terakhir yang memegang gelar al-Hurra.
Disadur dari Harian Republika