Sayyida al-Hurra, Tokoh Muslimah yang Dijuluki Ratu Bajak Laut
OCEANIA.ID -- Bajak laut biasanya identik dengan kaum Adam. Namun, dalam sejarah ternyata ada juga bajak laut dari kaum Hawa. Bajak laut perempuan ini bahkan tercatat dalam sejarah Islam. Ia adalah Sayyida al-Hurra.
Lebih dari 14 abad lalu saat awal kedatangan Islam, kaum perempuan telah memegang posisi di antara banyak elit yang berkuasa, ada yang menjadi malika, ratu, atau menjadi penasehat. Namun, Sayyida al-Hurra justru tampil menjadi pemimpin perempuan yang menonjol di lautan.
Sayyida al-Hurra adalah pemimpin perempuan di kota pesisir Tetouan, Maroko. Namanya berarti wanita mulia yang bebas dan independen, wanita berdaulat, tapi tak sewenang-wenang. Ia dijuluki sebagai “Ratu Bajak Laut”.
"Namanya diterjemahkan sebagai seorang wanita bangsawan yang mandiri, tetapi bagi para pengkritiknya dia adalah ratu bajak laut," ujar kontributor Aramcoworld, Tom Verde.
Kisah al-Hurra dimulai pada 1492 M, yang mana saat itu al-Hurra dan keluarganya diusir dari kota tercintanya oleh pasukan Ferdinand dan Isabella. Mereka diusir bersama umat Islam lainnya dan kaum Yahudi dari Kota Granada di Andalusia (sekarang Spanyol Selatan).
Sejarawan bernama al-Maqqari mengatakan, ribuan umat Islam dan Yahudi yang terusir itu merupakan imigran yang malang. Namun, seabad kemudian, akhirnya mereka bisa tinggal di beberapa kota besar di Afrika Utara seperti Fez, Oran dan Tunisia. Beberapa imigran lainnya, ada juga yang memilih tinggal di Tetouan (Tetwan), Sale, dan di dataran Metidja, dekat Aljazair.
Di antara ribuan pengungsi itu ada seorang kepala suku bernama Moulay Ali bin Rashid bersama istrinya, Zohra Fernandez, seorang Kristen yang masuk Islam. Rashid saat itu juga membawa putranya Moulay Ibrahim dan putrinya Aisha, nama kecil Sayyida al-Hurra.
Rashid adalah keluarga bangsawan yang mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad melalui Idrisi I, pendiri dinasti Islam pertama Maroko pada abad kedelapan. Setelah terasingkan dari Andalusia, mereka akhirnya memilih menetap di Pegunungan Rif di tenggara Tangier, tempat Moulay Ali mendirikan dan memimpin negara kota Chefchaouen, dekat pantai utara Maroko.
Dalam kepemimpinannya, Moulay Ali juga membuka pintu bagi warga Andalusia yang diusir umat Kristen dari wilayah Spanyol. Aisha menjadi saksi mata dari masa-masa sulit itu. Kendati demikian, di masa kecilnya ia beruntung masih bisa mengenyam pendidikan, sehinhga dia mahir berbahasa Kastilia dan Portugis, dan juga menguasi teologi.
Di antara gurunya yang terkenal adalah seorang sarjana dari Maroko yakni Abdallah al-Ghazwani, yang ayahnya merupakan ulama terkenal, Syekh Oudjal. Konon, Syekh Oudjal pernah meletakkan tangannya ke kepala al-Hurra kecil dan menyatakan, "Gadis ini akan naik pangkat tinggi."
Pada 1510 M, Aisha pum mulai mendekati ramalan itu saat menikah dengan Gubernur Tetouan, Abu Hassan al-Mandari. Tempat tinggal suaminya itu kira-kira 55 kilometer sebelah utara dari Chefchaouen.
Alkisah, Tetouan awalnya merupakan pelabuhan utama di Maroko dan menjadi pelabuhan militer. Pada 1400 M, karena takut akan posisi Tetouan, Portugis akhirnya melakukan penyerangan dan membuat pelabuhan itu menjadi puing-puing.
Sejarawan abad ke-16, Al Hasan bin Muhammad al-Wazzan mengatakan, pelabuhan itu kemudian ditinggalkan hingga berpuluh-puluh tahun. “Selama 80 tahun pelabuhan itu tetap dibiarkan, hingga akhirnya seorang kapten Granada memutuskan untuk memulihkan kota,” tulis sejarawan Al Hasan, yang kemudian dikenal sebagai Leo Africanus.
Kapten yang dia maksud itu adalah Al-Mandari, salah satu pejuang militer terakhir Granada. Al-Mandari membangun kembali tembok kota, mendirikan sebuah benteng dan mengobarkan banyak perang dengan Portugis. Al-Mandari juga kerap menyerang Ceuta, Ksar dan Tangiers.
"Dia diberi wewenang untuk memulihkan kota dan mengumpulkan pajak," kata Al Hasan.